Matahari
tepat diatas kepala, debu jalanan terbang liar sesuka hati dibawa angin,
mengendap di kaca jendela rumah penduduk yang pintunya tertutup rapat, jalanan
desa masih sepi, hanya ada beberapa ekor sapi yang asik merumput di tepian jalan,
pemiliknya tak mesti khawatir karena kemungkinan tersambar kenderaan bermotor
sangat kecil, dengan menumpangi ojek Sari melewti jalanan ini, Sari baru
dimutasikan ke tempat ini, sambil
bertanya sana sini akhirnya sari sampai di kantor dinas kecamatan,
bangunan bercat putih itu terlihat usang temboknya mulai ditumbuhi lumut, sebagian
lantainya retak sehingga berpasir disana sini, plafonnya pun kalah sama air
hujan sehingga harus meninggalkan lubang besar akibat terpaan air hujan, Sari
disambut oleh pak Wiro pengawas Tingkat SD
“Ohh
jadi ini guru baru yang bertugas di Dimito? Tanya pak Wiro ketika menyapa Sari
“ia
Pak” Sari mengangguk
“jadi
siap ke Dimito? “sambil membenarkan posisi duduknya menghadap Sari
“ia
pak” sari mengangguk sekali lagi
Setelah
memberikan surat perintah penugasan Sari melanjutkan perjalanannya menuju
sekolah tempat dia bertugas, pengawas yang tadi tidak mengantarkan Sari dengan
alasan medan nya cukup berbahaya jika harus jalan siang ini, jika besok pagi
dia baru bisa mengantarkan Sari. Sari berterimakasih atas niat baik Pak Wiro,
namun rasa penasarannya kali ini membuatnya semakin ingin sampai disekolah nya
yang baru
Matahari
semakin terik tubuh Sari mulai berguncang di atas jalanan berlubang, rumah
penduduk tak tampak lagi, hanya area perkebunan dan persawahan yang dapat di
jangkau mata. Jalanan yang di lalui Sari mulai menanjak, bebatuan jalan yang dilintasi ban motor meloncat sana sini, hampir sekitar 20 Km mereka berkendara, belum
melihat bangunan sekolah, rumah pendududk terakhir sudah di lewati 10 menit
yang lalu, sampai akhirnya Sari tersenyum melihat bangunan sekolah bercat
kuning di depan “ akhirnya mereka sampai” fikir Sari, bergegas dia turun
dari kenderaan beroda dua yang
ditumpanginya. Sekolah bercat kuning yang mulai pudar ini, terletak di depan
lapangan yang penuh dengan kotoran sapi disetiap sudut, Sari mendekati seorang
warga yang sedang menunggi sapinya dan
bertanya tentang sekolah di depan nya,
“oh
bukan bu SDN 25 Mah jauhhh, Noh lagi kesana lagi, Lewat Kali dingin” jelas
bapak itu
Tubuh
sari mulai mendingin ini saja sudah cukup jauh bagaimana dengan yang di
jelaskan bapak tadi,” pikir sari dalam hati
“
ibu mau ke kali dingin? Sari menoleh
sambil mengangguk mengarah kepada laki-laki bertubuh kecil yang berdiri tidak
jauh dari Sari
“
mari ikut saya bu, biar saya antar”
Sedikit
ragu-ragu Sari kembali menaiki ojek Nya mengikuti bapak yang tadi dari beakang,
jalanan yang di lewati bukan jalanan dengan aspal lagi, melainkan jalan desa
sederhana, tak ada rumah warga sama sekali perkebunan tebu di samping kiri dan
kanan kanan, ada sedikit perasaan takut dalam hati Sari haruskah dia melanjutkan
perjalanannya pertanyaan bagaiman pun muncul
“bagaimana
kalau si bapak bohong?
“Bagaimana
kalau si bapak termasuk komplotan penculik?
Berbagai
pertanyaan dengan nuansa negatif mulai muncul selama perjalanan menuju tempat
dimana dia harus mendedikasikan diri sebagai pengajar.
Kali
ini mereka melewati jembatan yang kedua, disamping nya tertulis Kali dingin,
sepertinya ini yang dimaksudkan warga dengan kali dingin, jalanan mulai
berbelok sedikit Sari harus turun dan berjalan kaki karena, keadaan ban motor
tidak akan mampu jika harus membonceng sari dibelakang nya, akhirnya jalanan
mulai menanjak lagi, Keringat Sari bercucuran membasahi sebagian kerudung biru
nya, akhirnya si penunjuk jalan tadi berbelok dan memarkirkan motornya,
“kita
ga bisa nanjak lagi bu, dari sini harus jalan kaki sekolah nya ada di
atas” bapak itu mnjelaskan sambil
menunjuk kearah bukit,
Sari
menengok ke arah bukit tampak sang merah putih berkibar disana, mungkin ini
satu-satunya tanda bahwa masih ada sekolah di tempat ini,
Sari
melanjutkan perjalanan nya dengan berjalan kaki, tidak sampai 10 menit sari
sudah melihat bangunan sekolah di depan nya,
Di
bawah terik matahari Sari berdiri tegap melihat sekolah yang ada di depan nya,
setelah melalui perjalanan 40 KM dari Pusat kecamaan, dengan medan yang tergolong
berat akhirnya dia sampai di SDN 25, Sekolahnya berada di atas bukit lingkungan halamannya di pagari dengan kawat,
bukan kayu melainkan kawat, hanya ada 2 rumah warga yang di bangun di sekitar
sekolah itu, rumah sangat sederhana, tidak ada pohon sama sekali di halaman
sekolah, beberapa kali Sari membuka Surat Perintah Penugasannya SDN 25, tertulis
disana, Sari mencoba menyesuaikannya dengan nomeklatur sekolah didepanya yang
tulisanya pun sudah tidak jelas lagi. Mungkin dia berharap Kali ini dia salah
lagi seperti sebelumnya, namunsepertinya tidak meskipun sudah pudar tulisan SDN
25 masih bisa dilihat dengan sedikit membungkukan badan
Sekolah dengan hanya TIGA ruangan RKB, tanpa
pohon di halaman nya, tanpa warga di sekitarnya, ada perasaan haru dalam hati Gadis BERUSIA 22 tahun ini saat
melihat sang merah putih berkibar di atas puncak berkibar dengan gagahnya, bendera
yang menjadi simbol pemersatu bangsa ini pun seakan menjadi tanda bahwa bahkan di daerah inipun anak-anak
Indonesia berhak untuk pintar. Setelah beberapa menit berada di depan sekolah
Sari melangkahkan kaki nya masuk kedalam sekolah, tak sulit menemukan ruangan dewan Guru
disekolah ini, karena hanya ada 3 ruangan 1 ruangan dipakai untuk kelas paralel
kelas 1 dan dua, ruangan yang lain dIpakai untuk 3 kelas, kelas 3 dan 4 yang di
paralelkan sementara dibagian lain kelas 5, pembatas antar ruang hanya disekat
triplek, bisa dibayangkan bagaimana ramainya suasana kelas ketika guru
menjelaskan didepan kelas, sementara 1 ruangan yang lain digunakan untuk ruang
kelas 6, ruang dewan guru dan ruang pimpinan kepala sekolah yang di padukan dengan
ruang perpustakan, tidak ada toilet hanya ada toilet alam, sungai di belakang
sekoah yang untuk mencapai sungai itu harus menuruni bukit sambil memegangi
akar-akar pohon agar tidak tergelincir.
Setelah
menghadap kepala sekolah sari diantarkan menuju kelas untuk sementara waktu
Sari mengajar di kelas 1 Sedangkan guru sebelumnya mengajar di kelas dua
sehingga kelas satu dan kelas dua tidak lagi menjalani pembelajaran kelas
rangkap.
“Selamat
siang anak-anak” sapa pak Imran mulai memperkenalkan Sari, “nah hari ini kita
kedatangan seorang guru baru namanya ibu Sari”
pak Imran mulai mengenalkan Sari yang berdiri di belakang nya, nah
anak-anak nanti tidak boleh nakal ya sama ibu Sari” pesan pak Imran sebelum
meninggalkan Sari dengan anak-anak yang menatap Sari dengan heran, kelas satu
berjumlah 15 orang anak-anak dengan rentang usia 6-8 tahun, keadaan mereka pun
tidak seperti anak-anak kelas satu pada umumnya yang punya tas, sepatu dan
seragam baru, seragam mereka sebagian besar berwarna kecoklatan, tak lagi
putih, jika ada yang berwarna putih serat kainnya mulai menipis karena
berulang-ulang kali direndam dengan asam sitrat, tas yang mereka gunakan pun
dari kantong kresek yang disambungkan dengan tali rapia, sungguh pemandangan
yang baru bagi Sari yang sebelumnya bertugas diKota dengan suasana sekolah
dengan taman yang rindang, kelas ber-AC serta siswa yang mungkin tak mengenal
asam sitrat.
Sari
maju selangkah dari posisi nya berdiri, belum sempat membuka mulut Sari
terkejut seorang Anak berlari dengan arah Zig-zak seperti pesawat yang
kehilangan arah, “perkenalkan Bu saya Dika, Ini kapur tulisnya” anak laki-laki
bertubuh subur itu menyerahkan sebatang kapur tulis untuk Sari, perlahan-lahan
Sari mengambilnya, setelah Dika, Sari meminta yang lain menyebutkan nama dan
kelas agar bisa lebih dekat akhirnya setelah Dika si pesawat sari mengenal 14
anak yang lain, Ail, Anggi, Antika, Bayu, Farel, Idho, Imel, Kesya, Minyo,
Muti, Niar, Lela, Paldi dan Rivan.
Inilah
pertemuan pertama bu Sari
dengan mereka,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar