Selasa, 11 September 2018

Pertemuan Pertama


Matahari tepat diatas kepala, debu jalanan terbang liar sesuka hati dibawa angin, mengendap di kaca jendela rumah penduduk yang pintunya tertutup rapat, jalanan desa masih sepi, hanya ada beberapa ekor sapi yang asik merumput di tepian jalan, pemiliknya tak mesti khawatir karena kemungkinan tersambar kenderaan bermotor sangat kecil, dengan menumpangi ojek Sari melewti jalanan ini, Sari baru dimutasikan ke tempat ini, sambil  bertanya sana sini akhirnya sari sampai di kantor dinas kecamatan, bangunan bercat putih itu terlihat usang temboknya mulai ditumbuhi lumut, sebagian lantainya retak sehingga berpasir disana sini, plafonnya pun kalah sama air hujan sehingga harus meninggalkan lubang besar akibat terpaan air hujan, Sari disambut oleh pak Wiro pengawas Tingkat SD
“Ohh jadi ini guru baru yang bertugas di Dimito? Tanya pak Wiro ketika menyapa Sari
“ia Pak” Sari mengangguk
“jadi siap ke Dimito? “sambil membenarkan posisi duduknya menghadap Sari
“ia pak” sari mengangguk sekali lagi
Setelah memberikan surat perintah penugasan Sari melanjutkan perjalanannya menuju sekolah tempat dia bertugas, pengawas yang tadi tidak mengantarkan Sari dengan alasan medan nya cukup berbahaya jika harus jalan siang ini, jika besok pagi dia baru bisa mengantarkan Sari. Sari berterimakasih atas niat baik Pak Wiro, namun rasa penasarannya kali ini membuatnya semakin ingin sampai disekolah nya yang baru
Matahari semakin terik tubuh Sari mulai berguncang di atas jalanan berlubang, rumah penduduk tak tampak lagi, hanya area perkebunan dan persawahan yang dapat di jangkau mata. Jalanan yang di lalui Sari mulai menanjak, bebatuan jalan yang  dilintasi ban motor meloncat sana sini,  hampir sekitar 20 Km mereka berkendara, belum melihat bangunan sekolah, rumah pendududk terakhir sudah di lewati 10 menit yang lalu, sampai akhirnya Sari tersenyum melihat bangunan sekolah bercat kuning di depan “ akhirnya mereka sampai” fikir Sari, bergegas dia turun dari  kenderaan beroda dua yang ditumpanginya. Sekolah bercat kuning yang mulai pudar ini, terletak di depan lapangan yang penuh dengan kotoran sapi disetiap sudut, Sari mendekati seorang warga yang sedang menunggi sapinya  dan bertanya tentang sekolah di depan nya,
“oh bukan bu SDN 25 Mah jauhhh, Noh lagi kesana lagi, Lewat Kali dingin” jelas bapak itu
Tubuh sari mulai mendingin ini saja sudah cukup jauh bagaimana dengan yang di jelaskan bapak tadi,” pikir sari dalam hati
“ ibu mau ke kali dingin?  Sari menoleh sambil mengangguk mengarah kepada laki-laki bertubuh kecil yang berdiri tidak jauh dari Sari
“ mari ikut saya bu, biar saya antar”
Sedikit ragu-ragu Sari kembali menaiki ojek Nya mengikuti bapak yang tadi dari beakang, jalanan yang di lewati bukan jalanan dengan aspal lagi, melainkan jalan desa sederhana, tak ada rumah warga sama sekali perkebunan tebu di samping kiri dan kanan kanan, ada sedikit perasaan takut dalam hati Sari haruskah dia melanjutkan perjalanannya pertanyaan bagaiman pun muncul
“bagaimana kalau si bapak bohong?
“Bagaimana kalau si bapak termasuk komplotan penculik?
Berbagai pertanyaan dengan nuansa negatif mulai muncul selama perjalanan menuju tempat dimana dia harus mendedikasikan diri sebagai pengajar.
Kali ini mereka melewati jembatan yang kedua, disamping nya tertulis Kali dingin, sepertinya ini yang dimaksudkan warga dengan kali dingin, jalanan mulai berbelok sedikit Sari harus turun dan berjalan kaki karena, keadaan ban motor tidak akan mampu jika harus membonceng sari dibelakang nya, akhirnya jalanan mulai menanjak lagi, Keringat Sari bercucuran membasahi sebagian kerudung biru nya, akhirnya si penunjuk jalan tadi berbelok dan memarkirkan motornya,
“kita ga bisa nanjak lagi bu, dari sini harus jalan kaki sekolah nya ada di atas”  bapak itu mnjelaskan sambil menunjuk kearah bukit,
Sari menengok ke arah bukit tampak sang merah putih berkibar disana, mungkin ini satu-satunya tanda bahwa masih ada sekolah di tempat ini,
Sari melanjutkan perjalanan nya dengan berjalan kaki, tidak sampai 10 menit sari sudah melihat bangunan sekolah di depan nya,
Di bawah terik matahari Sari berdiri tegap melihat sekolah yang ada di depan nya, setelah melalui perjalanan 40 KM dari Pusat kecamaan, dengan medan yang tergolong berat akhirnya dia sampai di SDN 25, Sekolahnya berada di atas bukit  lingkungan halamannya di pagari dengan kawat, bukan kayu melainkan kawat, hanya ada 2 rumah warga yang di bangun di sekitar sekolah itu, rumah sangat sederhana, tidak ada pohon sama sekali di halaman sekolah, beberapa kali Sari membuka Surat Perintah Penugasannya SDN 25, tertulis disana, Sari mencoba menyesuaikannya dengan nomeklatur sekolah didepanya yang tulisanya pun sudah tidak jelas lagi. Mungkin dia berharap Kali ini dia salah lagi seperti sebelumnya, namunsepertinya tidak meskipun sudah pudar tulisan SDN 25 masih bisa dilihat dengan sedikit membungkukan badan
 Sekolah dengan hanya TIGA ruangan RKB, tanpa pohon di halaman nya, tanpa warga di sekitarnya, ada perasaan haru  dalam hati Gadis BERUSIA 22 tahun ini saat melihat sang merah putih berkibar di atas puncak berkibar dengan gagahnya, bendera yang menjadi simbol pemersatu bangsa ini pun seakan menjadi tanda  bahwa bahkan di daerah inipun anak-anak Indonesia berhak untuk pintar. Setelah beberapa menit berada di depan sekolah Sari melangkahkan kaki nya masuk kedalam sekolah,  tak sulit menemukan ruangan dewan Guru disekolah ini, karena hanya ada 3 ruangan 1 ruangan dipakai untuk kelas paralel kelas 1 dan dua, ruangan yang lain dIpakai untuk 3 kelas, kelas 3 dan 4 yang di paralelkan sementara dibagian lain kelas 5, pembatas antar ruang hanya disekat triplek, bisa dibayangkan bagaimana ramainya suasana kelas ketika guru menjelaskan didepan kelas, sementara 1 ruangan yang lain digunakan untuk ruang kelas 6, ruang dewan guru dan ruang pimpinan kepala sekolah yang di padukan dengan ruang perpustakan, tidak ada toilet hanya ada toilet alam, sungai di belakang sekoah yang untuk mencapai sungai itu harus menuruni bukit sambil memegangi akar-akar pohon agar tidak tergelincir.
Setelah menghadap kepala sekolah sari diantarkan menuju kelas untuk sementara waktu Sari mengajar di kelas 1 Sedangkan guru sebelumnya mengajar di kelas dua sehingga kelas satu dan kelas dua tidak lagi menjalani pembelajaran kelas rangkap.
“Selamat siang anak-anak” sapa pak Imran mulai memperkenalkan Sari, “nah hari ini kita kedatangan seorang guru baru namanya ibu Sari”  pak Imran mulai mengenalkan Sari yang berdiri di belakang nya, nah anak-anak nanti tidak boleh nakal ya sama ibu Sari” pesan pak Imran sebelum meninggalkan Sari dengan anak-anak yang menatap Sari dengan heran, kelas satu berjumlah 15 orang anak-anak dengan rentang usia 6-8 tahun, keadaan mereka pun tidak seperti anak-anak kelas satu pada umumnya yang punya tas, sepatu dan seragam baru, seragam mereka sebagian besar berwarna kecoklatan, tak lagi putih, jika ada yang berwarna putih serat kainnya mulai menipis karena berulang-ulang kali direndam dengan asam sitrat, tas yang mereka gunakan pun dari kantong kresek yang disambungkan dengan tali rapia, sungguh pemandangan yang baru bagi Sari yang sebelumnya bertugas diKota dengan suasana sekolah dengan taman yang rindang, kelas ber-AC serta siswa yang mungkin tak mengenal asam sitrat.
Sari maju selangkah dari posisi nya berdiri, belum sempat membuka mulut Sari terkejut seorang Anak berlari dengan arah Zig-zak seperti pesawat yang kehilangan arah, “perkenalkan Bu saya Dika, Ini kapur tulisnya” anak laki-laki bertubuh subur itu menyerahkan sebatang kapur tulis untuk Sari, perlahan-lahan Sari mengambilnya, setelah Dika, Sari meminta yang lain menyebutkan nama dan kelas agar bisa lebih dekat akhirnya setelah Dika si pesawat sari mengenal 14 anak yang lain, Ail, Anggi, Antika, Bayu, Farel, Idho, Imel, Kesya, Minyo, Muti, Niar, Lela, Paldi dan Rivan.
Inilah pertemuan pertama bu Sari dengan mereka,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar